Buku Sintong : Luka Lama Menjelang Pemilu

Amran Nasution *)

Sintong Panjaitan mengungkap perseteruan Benny Moerdani dengan Prabowo Subianto. Kenapa terbit menjelang Pemilu?

Dia sudah tentu bukan Jenderal George Patton yang legendaris, yang terlibat dalam dua perang dunia yg selalu dimenangkannya. Sebagai jenderal paling hebat dalam sejarah Amerika Serikat, biografinya berkisah dari suatu kemenangan ke kemenangan yang lain. Sedangkan Sintong Panjaitan, 69 tahun, boleh dikatakan adalah jenderal yang gagal. Sebagai Panglima Kodam di Bali, dia dianggap bertanggung jawab atas penembakan demonstran di pemakaman Santa Cruz, Dili, 12 November 1991, mengakibatkan puluhan demonstran meninggal dunia. (watch Fool Me Twice )

Kalau dikaji lebih dalam, maka Santa Cruz adalah buah dari kebijakan yang dipilih Sintong bersama para asisten dan aparatnya di Timor Timur.

Tapi akibat peristiwa itu, nama Indonesia sungguh-sungguh terpuruk. Pers internasional menabalkan Indonesia sebagai sebuah negeri Muslim yang besar, menjajah Timor Timur, negeri Katolik yang kecil, dengan sangat kejam. Banyak negara yang semula mendukung Indonesia dalam soal Timor Timur kemudian berubah pandangan. Akhirnya, ditambah oleh nafsu Presiden B.J.Habibie ingin mendapat hadiah Nobel Perdamaian, Timor Timur lepas dari Indonesia melalui sebuah jajak pendapat yang konyol.

Sebenarnya, sebelum peristiwa Santa Cruz, diplomasi Indonesia di kancah internasional untuk masalah Timor Timur yang dipimpin Menteri Luar Negeri Ali Alatas, sangat sukses. Terakhir paling hanya tinggal dua atau tiga negara yang masih belum menerima Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Bahkan Portugal sebagai lawan utama Indonesia dalam konflik ini tampak sudah akan menyerah. Akhirnya semua upaya dan jerih-payah diplomasi itu hancur berantakan setelah pembunuhan Santa Cruz.

Jadi Sintong Panjaitan tercatat sebagai pejabat yang ikut bertanggung jawab atas lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Padahal tak sedikit isteri menjadi janda, anak menjadi yatim, karena sang ayah tewas di Timor Timur sebagai tentara, demi mempertahankan Timor Timur. Belum lagi orang-orang yang masih hidup tapi cacat. Belum dihitung jumlah duit yang dituangkan pemerintah guna membangun daerah itu. Sekarang semua pengorbanan itu sia-sia.

Oleh karenanya buku biografi Sintong Panjaitan berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando yang ditulis wartawan TVRI Hendro Subroto (Penerbit Buku Kompas, Maret 2009), mestinya dilihat sebagai upaya memulihkan nama Sintong, setelah 18 tahun peristiwa Santa Cruz berlalu.

Tapi barang siapa membaca buku 520 halaman itu, akan menemukan kenyataan ini. Walau pun di dalam prakata dicantumkan nama August Parengkuan, wartawan senior Kompas, sebagai editor, buku ini betul-betul berantakan: di mana-mana ditemukan kesalahan cetak atau kesalahan kalimat. Sekali pun kata pengantar diberikan Profesor Taufik Abdullah, sejarahwan Indonesia terkemuka, tetap saja kesalahan-kesalahan itu mengganggu. Coba, siapa tahu arti kata pribadinyanya, terlaksanya, atau the acts of free choise? Itu bisa ditemukan di dalam kata pengantar Profesor itu.

Kesalahan itu terlalu banyak. Malah di salah satu bab ditemukan hampir di tiap halaman. Di halaman 6, sekadar contoh, ditemukan kata berjuan (mestinya berjuang?), setelak (setelah?),dan hahasa (bahasa?). Begitu juga di halaman lainnya, Dili ditulis Deli, perjuangan ditulis pejuangan, rainbow menjadi raibow, dan banyak contoh lainnya.

Jadi setelah membaca buku ini akan timbul kesan meremehkan data dan analisisnya. Kalau untuk urusan yang kecil saja – membuat kalimat dan mencetak yang benar – penulis buku ini tak mampu, bagaimana dia bisa dipercaya membuat analisis mendalam, atau menyajikan fakta yang benar?

Menurut dugaan saya, kesalahan cetak, salah data atau kalimat, yang begitu banyak di buku ini terjadi karena persiapannya amat terburu-buru. Mungkin saking terburu-buru, buku ini dicetak tanpa diperiksa korektor. Pantas saja hasilnya berantakan.


Wiranto capres Hanura


Prabowo capres Gerindra
Tapi apa sih yang diburu? Tentu pemilihan umum. Tampaknya buku ini diterbitkan untuk konsumsi pemilihan umum. Targetnya menyerang Prabowo Subianto dan Wiranto, dua purnawirawan jenderal yang sekarang sedang memimpin partai yang akan bertarung dalam pemilihan umum 9 April mendatang (Partai Gerindra dan Partai Hanura).

Oleh karena itu penyelesaian buku ini harus diburu, untuk diterbitkan sebelum pemilihan umum. Artinya, dia beredar pada waktu yang tepat sehingga diharapkan sukses memojokkan Wiranto mau pun Prabowo. Keduanya dianggap saingan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden incumbent yang akan maju lagi dalam pemilihan presiden mendatang.

Sekali pun secara teknis buku ini berantakan, Presiden SBY pasti senang membacanya. Paling tidak, karena di sini dia ditabalkan sebagai konseptor reformasi ABRI yang selama ini disandang Wiranto. Terutama karena di buku ini ditulis bahwa Jenderal M.Jusuf selaku Panglima ABRI setuju pasukan anti-teror diberi nama Detasemen 81 karena angka itu – 8 + 1 -- jumlahnya 9.

Pesawat Hercules yang sering digunakan Pak Jusuf memiliki call sign A-1314. Kata Jenderal Jusuf, angka itu kalau dijumlahkan menjadi 9 (halaman 446). Jadi Pak Jusuf menyukai angka 9, yang tak lain juga angka favorit Presiden SBY. Boleh jadi informasi ini hanya karangan guna menyenangkan SBY. Tapi bagaimana mengeceknya kepada Jenderal Jusuf yang sudah meninggal dunia?


SBY capres ke II Demokrat



Luhut Panjaitan

Sintong Panjaitan
Sintong Panjaitan, menjadi sumber utama dalam penulisan. Lalu sumber lainnya adalah Jenderal (Pur) Luhut Panjaitan, bekas Menteri Perindustrian dan Perdagangan di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Keduanya, Luhut dan Sintong, memang selain semarga, merupakan teman lama. Keduanya dikenal sebagai anak emas Jenderal Benny Moerdani, Panglima ABRI.

Karir militer keduanya mencorong di zaman Moerdani berkuasa. Malah ketika itu sudah menjadi bisik-bisik di sementara kalangan perwira ABRI dan para wartawan bahwa Sintong sudah dipersiapkan oleh Moerdani untuk menjadi Panglima ABRI penggantinya. Penerbitan buku ini akhirnya akan membuka kembali luka lama berupa pertentangan sengit antara Benny Moerdani dengan Prabowo Subianto.

Sebelum buku ini terbit sudah beredar kabar bahwa Luhut berada di belakangnya. Sintong sendiri sebenarnya setelah pensiun pulang kampung ke Tarutung, Sumatera Utara, membuka usaha di bidang pertanian. Artinya, ia sudah menjauhkan diri dari hiruk-pikuk politik dan menikmati hidup dengan cucu-cucu.


Kiki Syahnakri
Mantan Wakil KSAD, Letjen (Pur) Kiki Syahnakri, misalnya, mengenal Sintong sebagai seorang prajurit tempur. Maka dia heran kenapa Sintong Panjaitan bisa menulis buku seperti ini. Tapi kenyataannya itulah yang terjadi.

Kabarnya buku ini akan menjadi modal Luhut untuk kembali masuk ke dalam kabinet bila kelak SBY kembali terpilih sebagai presiden. Luhut ingin mengulang sukses besar di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Ketika itu, ia bukan saja berhasil menjadi menteri, tapi naik pangkat dua kali, sampai menjadi jenderal penuh, sekali pun dia tak sedang menjalankan tugas ketentaraan.

Dia dinaikkan menjadi letnan jenderal ketika diangkat menjadi Duta Besar di Singapore, lalu menjadi jenderal penuh ketika menjadi menteri. Apa hubungan kenaikan pangkat dengan jabatan sipilnya itu tak jelas. Sama tak jelasnya apa keberhasilah Luhut sebagai Duta Besar, apalagi sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan?

Tapi nyatanya Luhut merupakan orang Indonesia pertama yang naik pangkat dengan model seperti itu. Dia sungguh berhasil memanfaatkan ‘’kelemahan’’ Gus Dur. Kini nampaknya Luhut sedang memainkan kartu yang mirip terhadap SBY.

SBY sekarang terisolir. Dia ditinggalkan wakilnya, Jusuf Kalla, yang sekarang berdamai dengan Ketua Umum PDIP Megawati. Kedua pemimpin partai terbesar itu sekarang adalah rival SBY, selain Prabowo Subianto, Wiranto, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tak aneh dalam keadaan terjepit seperti ini – ingat krisis ekonomi yang semakin parah akan jadi beban SBY yang lain – upaya Luhut dan Sintong dengan bukunya terasa membantu.

Bab Pembuka dan Penutup
Sebenarnya bila diamati sedikit teliti, pada awalnya buku ini memang betul-betul disiapkan untuk merehabilitasi nama Sintong Panjaitan, terbebas dari maksud-maksud politik. Ia dimaksudkan untuk memberi informasi tentang Sintong kepada anak-cucu, sahabat, bekas anak buah di kemiliteran, dan sebagainya.

Karena itu tampaknya pada awalnya buku ini ditulis secara kronologis, sebagaimana kebanyakan buku biografi. Ia dimulai dari bab 2: Yang Benar dan Menang, dan berakhir pada bab 12: Dari Staf Ahli Menristek Hingga Penasehat Presiden Bidang Hankam. Itu menceritakan secara kronologis kisah hidup seorang Sintong Panjaitan, terutama berbagai prestasi yang dicapainya, sampai terakhir dia menjadi Penasehat Presiden Habibie.

Agaknya belakangan ke dalam buku ini disisipkan pesan politik atau target politik yang sesungguhnya. Karenanya dibuatlah bab 1, Badai Besar di Mei 1998, dan bab 13, Peristiwa Maret 1983 di Mako Kopassandha dan Penculikan Aktivis Pada Mei 1998. Terutama bab 13 itu terasa sungguh-sungguh ditempelkan.

Soalnya, sampai bab 12, buku itu sudah ditulis dengan metode kronologis. Pada bab itu buku ini bercerita tentang kiprah Sintong yang terakhir di pemerintahan, sebagai Penasehat Presiden Bidang Hankam. Dilihat dari periode waktu, peristiwa itu sudah memasuki tahun 1999/2000.

Tiba-tiba di bab13, buku ini berkisah mundur ke bulan Maret 1983, atau mundur 17 tahun ke belakang, untuk menceritakan bahwa Kapten Prabowo Subianto sebagai Wakil Komandan Detasemen 81/anti-teror, pernah menyiagakan pasukannya, untuk menghadapi kemungkinan informasi yang diterimanya bahwa Asisten Intelijen Mabes ABRI Letjen Benny Moerdani akan melancarkan kudeta. Disebutkan pula Prabowo berencana mengungsikan Presiden Soeharto – yang notabene adalah mertuanya – ke markas Detasemen 81 di Cijantung, Jakarta, karena adanya rencana kudeta oleh Benny Moerdani.

Di bab ini dengan panjang lebar Sintong dan Luhut membantah isu kudeta oleh Moerdani, sekalian memojokkan Prabowo habis-habisan. Terlepas dari kebenaran kisah yang dimuat buku ini tentang Prabowo atau Moerdani, siapa pun tahu pada waktu itu Sintong dan Luhut adalah anak emas Moerdani yang selalu mendapat keistimewaan-keistimewaan.

Dari cerita Luhut atau Sintong saja di buku ini, mereka begitu mudah berhubungan dengan Moerdani, sudah merupakan bukti nyata hubungan itu. Luhut, hanya mayor dengan mudah menemui Moerdani seorang Letnan Jenderal. Sintong yang seorang bawahan seenaknya saja membantah Moerdani. Sungguh luar biasa. Apa namanya semua itu kalau bukan karena mereka anak emas?

Sekarang tentang rencana kudeta oleh Moerdani, bisakah bantahan Sintong dan Luhut dipercaya? Bisa saja rencana kudeta itu dibatalkan setelah bocor kepada Prabowo, dan itu juga bisa diduga telah bocor kepada Soeharto.

Satu hal yang pasti, dalam Sidang Umum MPR lima tahun kemudian pada 1988, terjadilah interupsi Ibrahim Saleh dari Fraksi ABRI. Interupsi itu merupakan manifestasi dari perlawanan ABRI yang dipimpin Moerdani pada waktu itu, terhadap keputusan Soeharto mengangkat Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Dengan ini setidaknya terbukti bahwa Moerdani memang punya potensi untuk melawan Soeharto.

Suatu kali Presiden Soeharto datang ke Bali. Ia merayakan ulang tahun pernikahannya di Istana Tampaksiring. Di hari yang sama kedatangan Soeharto ke Pulau Dewata, Sintong selaku Panglima Kodam pergi melakukan inspeksi ke Timor Timur. Sintong sendiri di buku itu mengaku bahwa langkah yang ditempuhnya, tak mendampingi Presiden saat presiden berkunjung ke daerahnya, belum pernah dilakukan Panglima Kodam yang mana pun.

Malah Sintong pernah mendengar seorang Panglima Kodam yang sedang berada di Eropa, segera pulang ke daerahnya ketika mendengar Presiden Soeharto akan mengunjungi daerahnya. Jadi tindakan Sintong itu sungguh di luar kebiasaan. Dan itu bisa terjadi tentu karena ada apa-apa di baliknya.

Maka sesungguhnya bila ingin memberi kesempatan kepada para pembaca memahami berbagai kejadian yang dituliskan buku ini, mestinya ia diberi konteks situasi politik nasional yang terjadi pada waktu itu. Apa yang terjadi dalam hubungan Soeharto dengan Benny Moerdani? Bagaimana pemojokan ummat Islam yang dilakukan Moerdani dengan peristiwa Tanjungpriok, Woyla, teror Warman, dan berbagai peristiwa lainnya.


Benny Moerdani & Tri Soetrisno saat press conference Tragedi Priok 1984

Kivlan Zein


Muchdi PR
Kelemahan lain buku ini sebagaimana buku biografi lainnya, berbagai peristiwa atau kejadian dilihat dari sudut pandang dan kepentingan sumbernya, dalam kasus ini Sintong dan Luhut Panjaitan. Apalagi buku ini kemudian telah diberi beban politisasi demi kepentingan pemilihan umum terutama pemilihan presiden.

Sintong, misalnya, mempersoalkan kenapa Mayor Jenderal Muchdi PR sebagai Komandan Jenderal Kopassus pada Mei 1998, mau pergi bersama Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal Kivlan Zen menghadap BJ Habibie membawa surat dari Jenderal (Pur) A.H.Nasution.

Kivlan wajar melaksanakan perintah Prabowo Subianto sebagai Pangkonstrad. Sedang Muchdi, kata Sintong, bukan bawahan Prabowo. Artinya, di sini telah terjadi ketidak-jelasan wewenang dan tanggung jawab.


Idris Gasing
Tapi di bagian lain, Sintong mengaku memerintahkan Brigjen Idris Gasing selaku Wadanjen Kopassus untuk menarik pasukan. Apa Sintong sebagai Penasehat Presiden Habibie punya wewenang memerintahkan seorang Wadanjen Kopasssus?

Sama halnya, apa hak Sintong menegur Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres) Mayor Jenderal Endriartono Sutarto, ketika tahu bahwa Soeharto walau sudah bukan Presiden masih sering berkunjung ke markas Paspamres untuk berlatih menembak.

Endriartono Sutarto benar ketika dia tak mempedulikan teguran Sintong, karena Sintong sebagai Penasehat Presiden memang tak berhak untuk itu. Sintong kemudian melapor kepada Presiden Habibie, minta Komandan Paspamres diganti. Habibie setuju. Tapi ternyata Pangab Jenderal Wiranto memutuskan Endriartono Sutarto malah naik jabatan, menjadi Asisten Operasi Panglima ABRI.

Buku ini penuh pujian kepada Sintong sebagai seorang pemberani. Tapi ternyata terbukti ia takut menghadapi pengadilan, cepat-cepat pulang ke Indonesia ketika tahu dia dituntut di pengadilan.

Begini. Setelah peristiwa Santa Cruz, Sintong kuliah selama 6 bulan di Boston University, Amerika Serikat. Tiba-tiba September 1992, datang panggilan pengadilan. Rupanya Sintong digugat oleh Helen Todd, orang tua Kamal Bamadhaj, warga Selandia Baru yang tewas tertembak dalam peristiwa Santa Cruz. Sintong langsung pulang ke Jakarta.

Bagi saya sebagai wartawan, yang menarik dari buku ini, ternyata menurut Luhut Panjaitan, Benny Moerdani pernah membeli dan memasukkan sejumlah senjata ke Indonesia, yaitu senapan serbu AK-47, senapan laras panjang SKS, dan senjata anti-tank buatan Perancis. Senjata itu akan dikirimkan oleh Moerdani ke Afghanistan guna membantu pejuang Mujahidin melawan tentara Uni Soviet.

Berbagai buku yang menulis tentang Mujahidin, seperti House of Bush, House of Saud, atau American Theocracy, tak pernah menyinggung peran Indonesia mengirimkan senjata kepada Mujahidin. Yang berperan dalam pengiriman senjata itu adalah badan intelijen Pakistan, ISI, dan terutama badan intelijen Amerika Serikat, CIA. Demi mengumpulkan dana untuk membeli senjata, CIA menjalankan bisnis opium di Afghanistan. Sejak itulah penanaman opium dimulai dan kini Afghanistan menjadi gudang opium dunia.

Maka bisnis senjata Moerdani yang diungkapkan Luhut itu perlu diklarifikasi oleh Markas Besar (Mabes) TNI. Betulkah Moerdani mengirimkan senjatanya ke Afghanistan? Untuk apa hasil bisnis ini dipergunakan? Kepada siapa bisnis itu dipertanggungjawabkan? Saya kira pengusutannya gampang karena sudah ada pengakuan awal dari Luhut Panjaitan di dalam buku ini. (hidayatullah)

*) Penulis adalah Direktur Institute For Po




Bookmark and Share

Luka Lama Menjelang Pemilu

Katagori : Untold Story / the X files
Oleh : Redaksi 19 Mar 2009 - 6:00 am

Amran Nasution *)
Sintong Panjaitan mengungkap perseteruan Benny Moerdani dengan Prabowo Subianto. Kenapa terbit menjelang Pemilu?

Dia sudah tentu bukan Jenderal George Patton yang legendaris, yang terlibat dalam dua perang dunia yg selalu dimenangkannya. Sebagai jenderal paling hebat dalam sejarah Amerika Serikat, biografinya berkisah dari suatu kemenangan ke kemenangan yang lain. Sedangkan Sintong Panjaitan, 69 tahun, boleh dikatakan adalah jenderal yang gagal. Sebagai Panglima Kodam di Bali, dia dianggap bertanggung jawab atas penembakan demonstran di pemakaman Santa Cruz, Dili, 12 November 1991, mengakibatkan puluhan demonstran meninggal dunia. (watch Fool Me Twice )

Kalau dikaji lebih dalam, maka Santa Cruz adalah buah dari kebijakan yang dipilih Sintong bersama para asisten dan aparatnya di Timor Timur.

Tapi akibat peristiwa itu, nama Indonesia sungguh-sungguh terpuruk. Pers internasional menabalkan Indonesia sebagai sebuah negeri Muslim yang besar, menjajah Timor Timur, negeri Katolik yang kecil, dengan sangat kejam. Banyak negara yang semula mendukung Indonesia dalam soal Timor Timur kemudian berubah pandangan. Akhirnya, ditambah oleh nafsu Presiden B.J.Habibie ingin mendapat hadiah Nobel Perdamaian, Timor Timur lepas dari Indonesia melalui sebuah jajak pendapat yang konyol.

Sebenarnya, sebelum peristiwa Santa Cruz, diplomasi Indonesia di kancah internasional untuk masalah Timor Timur yang dipimpin Menteri Luar Negeri Ali Alatas, sangat sukses. Terakhir paling hanya tinggal dua atau tiga negara yang masih belum menerima Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Bahkan Portugal sebagai lawan utama Indonesia dalam konflik ini tampak sudah akan menyerah. Akhirnya semua upaya dan jerih-payah diplomasi itu hancur berantakan setelah pembunuhan Santa Cruz.

Jadi Sintong Panjaitan tercatat sebagai pejabat yang ikut bertanggung jawab atas lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Padahal tak sedikit isteri menjadi janda, anak menjadi yatim, karena sang ayah tewas di Timor Timur sebagai tentara, demi mempertahankan Timor Timur. Belum lagi orang-orang yang masih hidup tapi cacat. Belum dihitung jumlah duit yang dituangkan pemerintah guna membangun daerah itu. Sekarang semua pengorbanan itu sia-sia.

Oleh karenanya buku biografi Sintong Panjaitan berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando yang ditulis wartawan TVRI Hendro Subroto (Penerbit Buku Kompas, Maret 2009), mestinya dilihat sebagai upaya memulihkan nama Sintong, setelah 18 tahun peristiwa Santa Cruz berlalu.

Tapi barang siapa membaca buku 520 halaman itu, akan menemukan kenyataan ini. Walau pun di dalam prakata dicantumkan nama August Parengkuan, wartawan senior Kompas, sebagai editor, buku ini betul-betul berantakan: di mana-mana ditemukan kesalahan cetak atau kesalahan kalimat. Sekali pun kata pengantar diberikan Profesor Taufik Abdullah, sejarahwan Indonesia terkemuka, tetap saja kesalahan-kesalahan itu mengganggu. Coba, siapa tahu arti kata pribadinyanya, terlaksanya, atau the acts of free choise? Itu bisa ditemukan di dalam kata pengantar Profesor itu.

Kesalahan itu terlalu banyak. Malah di salah satu bab ditemukan hampir di tiap halaman. Di halaman 6, sekadar contoh, ditemukan kata berjuan (mestinya berjuang?), setelak (setelah?),dan hahasa (bahasa?). Begitu juga di halaman lainnya, Dili ditulis Deli, perjuangan ditulis pejuangan, rainbow menjadi raibow, dan banyak contoh lainnya.

Jadi setelah membaca buku ini akan timbul kesan meremehkan data dan analisisnya. Kalau untuk urusan yang kecil saja – membuat kalimat dan mencetak yang benar – penulis buku ini tak mampu, bagaimana dia bisa dipercaya membuat analisis mendalam, atau menyajikan fakta yang benar?

Menurut dugaan saya, kesalahan cetak, salah data atau kalimat, yang begitu banyak di buku ini terjadi karena persiapannya amat terburu-buru. Mungkin saking terburu-buru, buku ini dicetak tanpa diperiksa korektor. Pantas saja hasilnya berantakan.


Wiranto capres Hanura


Prabowo capres Gerindra
Tapi apa sih yang diburu? Tentu pemilihan umum. Tampaknya buku ini diterbitkan untuk konsumsi pemilihan umum. Targetnya menyerang Prabowo Subianto dan Wiranto, dua purnawirawan jenderal yang sekarang sedang memimpin partai yang akan bertarung dalam pemilihan umum 9 April mendatang (Partai Gerindra dan Partai Hanura).

Oleh karena itu penyelesaian buku ini harus diburu, untuk diterbitkan sebelum pemilihan umum. Artinya, dia beredar pada waktu yang tepat sehingga diharapkan sukses memojokkan Wiranto mau pun Prabowo. Keduanya dianggap saingan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden incumbent yang akan maju lagi dalam pemilihan presiden mendatang.

Sekali pun secara teknis buku ini berantakan, Presiden SBY pasti senang membacanya. Paling tidak, karena di sini dia ditabalkan sebagai konseptor reformasi ABRI yang selama ini disandang Wiranto. Terutama karena di buku ini ditulis bahwa Jenderal M.Jusuf selaku Panglima ABRI setuju pasukan anti-teror diberi nama Detasemen 81 karena angka itu – 8 + 1 -- jumlahnya 9.

Pesawat Hercules yang sering digunakan Pak Jusuf memiliki call sign A-1314. Kata Jenderal Jusuf, angka itu kalau dijumlahkan menjadi 9 (halaman 446). Jadi Pak Jusuf menyukai angka 9, yang tak lain juga angka favorit Presiden SBY. Boleh jadi informasi ini hanya karangan guna menyenangkan SBY. Tapi bagaimana mengeceknya kepada Jenderal Jusuf yang sudah meninggal dunia?


SBY capres ke II Demokrat



Luhut Panjaitan


Sintong Panjaitan
Sintong Panjaitan, menjadi sumber utama dalam penulisan. Lalu sumber lainnya adalah Jenderal (Pur) Luhut Panjaitan, bekas Menteri Perindustrian dan Perdagangan di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Keduanya, Luhut dan Sintong, memang selain semarga, merupakan teman lama. Keduanya dikenal sebagai anak emas Jenderal Benny Moerdani, Panglima ABRI.

Karir militer keduanya mencorong di zaman Moerdani berkuasa. Malah ketika itu sudah menjadi bisik-bisik di sementara kalangan perwira ABRI dan para wartawan bahwa Sintong sudah dipersiapkan oleh Moerdani untuk menjadi Panglima ABRI penggantinya. Penerbitan buku ini akhirnya akan membuka kembali luka lama berupa pertentangan sengit antara Benny Moerdani dengan Prabowo Subianto.

Sebelum buku ini terbit sudah beredar kabar bahwa Luhut berada di belakangnya. Sintong sendiri sebenarnya setelah pensiun pulang kampung ke Tarutung, Sumatera Utara, membuka usaha di bidang pertanian. Artinya, ia sudah menjauhkan diri dari hiruk-pikuk politik dan menikmati hidup dengan cucu-cucu.


Kiki Syahnakri
Mantan Wakil KSAD, Letjen (Pur) Kiki Syahnakri, misalnya, mengenal Sintong sebagai seorang prajurit tempur. Maka dia heran kenapa Sintong Panjaitan bisa menulis buku seperti ini. Tapi kenyataannya itulah yang terjadi.

Kabarnya buku ini akan menjadi modal Luhut untuk kembali masuk ke dalam kabinet bila kelak SBY kembali terpilih sebagai presiden. Luhut ingin mengulang sukses besar di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Ketika itu, ia bukan saja berhasil menjadi menteri, tapi naik pangkat dua kali, sampai menjadi jenderal penuh, sekali pun dia tak sedang menjalankan tugas ketentaraan.

Dia dinaikkan menjadi letnan jenderal ketika diangkat menjadi Duta Besar di Singapore, lalu menjadi jenderal penuh ketika menjadi menteri. Apa hubungan kenaikan pangkat dengan jabatan sipilnya itu tak jelas. Sama tak jelasnya apa keberhasilah Luhut sebagai Duta Besar, apalagi sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan?

Tapi nyatanya Luhut merupakan orang Indonesia pertama yang naik pangkat dengan model seperti itu. Dia sungguh berhasil memanfaatkan ‘’kelemahan’’ Gus Dur. Kini nampaknya Luhut sedang memainkan kartu yang mirip terhadap SBY.

SBY sekarang terisolir. Dia ditinggalkan wakilnya, Jusuf Kalla, yang sekarang berdamai dengan Ketua Umum PDIP Megawati. Kedua pemimpin partai terbesar itu sekarang adalah rival SBY, selain Prabowo Subianto, Wiranto, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tak aneh dalam keadaan terjepit seperti ini – ingat krisis ekonomi yang semakin parah akan jadi beban SBY yang lain – upaya Luhut dan Sintong dengan bukunya terasa membantu.

Bab Pembuka dan Penutup
Sebenarnya bila diamati sedikit teliti, pada awalnya buku ini memang betul-betul disiapkan untuk merehabilitasi nama Sintong Panjaitan, terbebas dari maksud-maksud politik. Ia dimaksudkan untuk memberi informasi tentang Sintong kepada anak-cucu, sahabat, bekas anak buah di kemiliteran, dan sebagainya.

Karena itu tampaknya pada awalnya buku ini ditulis secara kronologis, sebagaimana kebanyakan buku biografi. Ia dimulai dari bab 2: Yang Benar dan Menang, dan berakhir pada bab 12: Dari Staf Ahli Menristek Hingga Penasehat Presiden Bidang Hankam. Itu menceritakan secara kronologis kisah hidup seorang Sintong Panjaitan, terutama berbagai prestasi yang dicapainya, sampai terakhir dia menjadi Penasehat Presiden Habibie.

Agaknya belakangan ke dalam buku ini disisipkan pesan politik atau target politik yang sesungguhnya. Karenanya dibuatlah bab 1, Badai Besar di Mei 1998, dan bab 13, Peristiwa Maret 1983 di Mako Kopassandha dan Penculikan Aktivis Pada Mei 1998. Terutama bab 13 itu terasa sungguh-sungguh ditempelkan.

Soalnya, sampai bab 12, buku itu sudah ditulis dengan metode kronologis. Pada bab itu buku ini bercerita tentang kiprah Sintong yang terakhir di pemerintahan, sebagai Penasehat Presiden Bidang Hankam. Dilihat dari periode waktu, peristiwa itu sudah memasuki tahun 1999/2000.

Tiba-tiba di bab13, buku ini berkisah mundur ke bulan Maret 1983, atau mundur 17 tahun ke belakang, untuk menceritakan bahwa Kapten Prabowo Subianto sebagai Wakil Komandan Detasemen 81/anti-teror, pernah menyiagakan pasukannya, untuk menghadapi kemungkinan informasi yang diterimanya bahwa Asisten Intelijen Mabes ABRI Letjen Benny Moerdani akan melancarkan kudeta. Disebutkan pula Prabowo berencana mengungsikan Presiden Soeharto – yang notabene adalah mertuanya – ke markas Detasemen 81 di Cijantung, Jakarta, karena adanya rencana kudeta oleh Benny Moerdani.

Di bab ini dengan panjang lebar Sintong dan Luhut membantah isu kudeta oleh Moerdani, sekalian memojokkan Prabowo habis-habisan. Terlepas dari kebenaran kisah yang dimuat buku ini tentang Prabowo atau Moerdani, siapa pun tahu pada waktu itu Sintong dan Luhut adalah anak emas Moerdani yang selalu mendapat keistimewaan-keistimewaan.

Dari cerita Luhut atau Sintong saja di buku ini, mereka begitu mudah berhubungan dengan Moerdani, sudah merupakan bukti nyata hubungan itu. Luhut, hanya mayor dengan mudah menemui Moerdani seorang Letnan Jenderal. Sintong yang seorang bawahan seenaknya saja membantah Moerdani. Sungguh luar biasa. Apa namanya semua itu kalau bukan karena mereka anak emas?

Sekarang tentang rencana kudeta oleh Moerdani, bisakah bantahan Sintong dan Luhut dipercaya? Bisa saja rencana kudeta itu dibatalkan setelah bocor kepada Prabowo, dan itu juga bisa diduga telah bocor kepada Soeharto.

Satu hal yang pasti, dalam Sidang Umum MPR lima tahun kemudian pada 1988, terjadilah interupsi Ibrahim Saleh dari Fraksi ABRI. Interupsi itu merupakan manifestasi dari perlawanan ABRI yang dipimpin Moerdani pada waktu itu, terhadap keputusan Soeharto mengangkat Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Dengan ini setidaknya terbukti bahwa Moerdani memang punya potensi untuk melawan Soeharto.

Suatu kali Presiden Soeharto datang ke Bali. Ia merayakan ulang tahun pernikahannya di Istana Tampaksiring. Di hari yang sama kedatangan Soeharto ke Pulau Dewata, Sintong selaku Panglima Kodam pergi melakukan inspeksi ke Timor Timur. Sintong sendiri di buku itu mengaku bahwa langkah yang ditempuhnya, tak mendampingi Presiden saat presiden berkunjung ke daerahnya, belum pernah dilakukan Panglima Kodam yang mana pun.

Malah Sintong pernah mendengar seorang Panglima Kodam yang sedang berada di Eropa, segera pulang ke daerahnya ketika mendengar Presiden Soeharto akan mengunjungi daerahnya. Jadi tindakan Sintong itu sungguh di luar kebiasaan. Dan itu bisa terjadi tentu karena ada apa-apa di baliknya.

Maka sesungguhnya bila ingin memberi kesempatan kepada para pembaca memahami berbagai kejadian yang dituliskan buku ini, mestinya ia diberi konteks situasi politik nasional yang terjadi pada waktu itu. Apa yang terjadi dalam hubungan Soeharto dengan Benny Moerdani? Bagaimana pemojokan ummat Islam yang dilakukan Moerdani dengan peristiwa Tanjungpriok, Woyla, teror Warman, dan berbagai peristiwa lainnya.


Benny Moerdani & Tri Soetrisno saat press conference Tragedi Priok 1984


Kivlan Zein


Muchdi PR
Kelemahan lain buku ini sebagaimana buku biografi lainnya, berbagai peristiwa atau kejadian dilihat dari sudut pandang dan kepentingan sumbernya, dalam kasus ini Sintong dan Luhut Panjaitan. Apalagi buku ini kemudian telah diberi beban politisasi demi kepentingan pemilihan umum terutama pemilihan presiden.

Sintong, misalnya, mempersoalkan kenapa Mayor Jenderal Muchdi PR sebagai Komandan Jenderal Kopassus pada Mei 1998, mau pergi bersama Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal Kivlan Zen menghadap BJ Habibie membawa surat dari Jenderal (Pur) A.H.Nasution.

Kivlan wajar melaksanakan perintah Prabowo Subianto sebagai Pangkonstrad. Sedang Muchdi, kata Sintong, bukan bawahan Prabowo. Artinya, di sini telah terjadi ketidak-jelasan wewenang dan tanggung jawab.


Idris Gasing
Tapi di bagian lain, Sintong mengaku memerintahkan Brigjen Idris Gasing selaku Wadanjen Kopassus untuk menarik pasukan. Apa Sintong sebagai Penasehat Presiden Habibie punya wewenang memerintahkan seorang Wadanjen Kopasssus?

Sama halnya, apa hak Sintong menegur Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres) Mayor Jenderal Endriartono Sutarto, ketika tahu bahwa Soeharto walau sudah bukan Presiden masih sering berkunjung ke markas Paspamres untuk berlatih menembak.

Endriartono Sutarto benar ketika dia tak mempedulikan teguran Sintong, karena Sintong sebagai Penasehat Presiden memang tak berhak untuk itu. Sintong kemudian melapor kepada Presiden Habibie, minta Komandan Paspamres diganti. Habibie setuju. Tapi ternyata Pangab Jenderal Wiranto memutuskan Endriartono Sutarto malah naik jabatan, menjadi Asisten Operasi Panglima ABRI.

Buku ini penuh pujian kepada Sintong sebagai seorang pemberani. Tapi ternyata terbukti ia takut menghadapi pengadilan, cepat-cepat pulang ke Indonesia ketika tahu dia dituntut di pengadilan.

Begini. Setelah peristiwa Santa Cruz, Sintong kuliah selama 6 bulan di Boston University, Amerika Serikat. Tiba-tiba September 1992, datang panggilan pengadilan. Rupanya Sintong digugat oleh Helen Todd, orang tua Kamal Bamadhaj, warga Selandia Baru yang tewas tertembak dalam peristiwa Santa Cruz. Sintong langsung pulang ke Jakarta.

Bagi saya sebagai wartawan, yang menarik dari buku ini, ternyata menurut Luhut Panjaitan, Benny Moerdani pernah membeli dan memasukkan sejumlah senjata ke Indonesia, yaitu senapan serbu AK-47, senapan laras panjang SKS, dan senjata anti-tank buatan Perancis. Senjata itu akan dikirimkan oleh Moerdani ke Afghanistan guna membantu pejuang Mujahidin melawan tentara Uni Soviet.

Berbagai buku yang menulis tentang Mujahidin, seperti House of Bush, House of Saud, atau American Theocracy, tak pernah menyinggung peran Indonesia mengirimkan senjata kepada Mujahidin. Yang berperan dalam pengiriman senjata itu adalah badan intelijen Pakistan, ISI, dan terutama badan intelijen Amerika Serikat, CIA. Demi mengumpulkan dana untuk membeli senjata, CIA menjalankan bisnis opium di Afghanistan. Sejak itulah penanaman opium dimulai dan kini Afghanistan menjadi gudang opium dunia.

Maka bisnis senjata Moerdani yang diungkapkan Luhut itu perlu diklarifikasi oleh Markas Besar (Mabes) TNI. Betulkah Moerdani mengirimkan senjatanya ke Afghanistan? Untuk apa hasil bisnis ini dipergunakan? Kepada siapa bisnis itu dipertanggungjawabkan? Saya kira pengusutannya gampang karena sudah ada pengakuan awal dari Luhut Panjaitan di dalam buku ini. (hidayatullah)

*) Penulis adalah Direktur Institute For Policy Studies (IPS)


source : Liputan 6


Info admin : Project War on Terrorism
Terlepas dari agenda diterbitkannya buku diatas, Sejak kerusuhan Mei 1998 - pasca lengsernya Soeharto hingga saat ini, kondisi Indonesia tercabik cabik yang secara langsung diakibatkan oleh "sepak terjang" para elit pemimpin Indonesia. Walaupun tidak berkaitan langsung dengan buku Sintong Panjaitan, video dokumenter Fool Me Twice berikut ini perlu ditonton (20 clips) untuk menambah wawasan kita bersama. video dokumenter Fool Me Twice dipersembahkan oleh mitra Swaramuslim "Steven Johnson" warga negara Australia yang juga pembuat dokumenter "The Truth about Bali Bombing"





Advertisement

0 Response to "Buku Sintong : Luka Lama Menjelang Pemilu"

Post a Comment