MELACAK JEJAK KRISTEN DI ACEH SINGKIL
Hujan deras dan cuaca mendung ikut menemani perjalanan tim SantriDayah yang
berangkat dari kota Lhokseumawe pada awal November 2012, tidak kurang
dalam dua hari perjalanan tim mendapatkan tantangan demi tantangan
ketika melewati terjal dan curamnya jalan Meulaboh hingga akhirnya
sampai ke tujuan, tekad kami, ingin melihat secara jelas sekelumit
persoalan aqidah yang menjadi buah bibir masyarakat Aceh saat ini.
Singkil, sebuah kabupaten yang
terbentuk pada tanggal 20 April 1999 hasil pemekaran dari Kabupaten
Aceh Selatan merupakan daerah yang memliki beragam corak dan gaya hidup
serta sempat tercatat dalam sejarah sebagai salah-satu kota peradaban
Islam dibawah kekuasaan Aceh Darussalam. Abad 16, sewaktu kerajaan Aceh
dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, Syaikh Abdurrauf Assingkili, seorang
Ulama dari Singkil sempat didudukkan dan di angkat sebagai tempat
rujukan agama atau hukum syara’. Tidak diragukan lagi, Islam menjadi
satu acuan penting dalam membentuk kehidupan masyarakat Singkil yang
kompleks.
Kristen Mulai Masuk
Lima belas tahun sebelum proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, agama Kristen sudah menapaki daratan
Aceh Singkil yang saat ini diketahui sebagai daerah terdekat dengan
perbatasan. Kristen pertama sekali masuk ke wilayah Aceh Singkil pada
tahun 1930 melalui seorang penginjil yang berasal dari Salak, Pakpak
Bharat, pendeta itu bernama evangelist I.W Banurea. Hingga pada tahun
1932 si pendeta Evangelist tersebut bekerjasama dengan perkebunan
Socfindo untuk mendirikan gereja, kemudian satu demi satu desa-desa itu
dikunjungi dan terbentuklah gereja-gereja. Sampai dengan saat ini, sudah
ada 15 ribu jiwa yang memeluk agama Kristen. Mencengangkan, karena
pemeluk-pemeluk Kristen ini tidak hanya warga Singkil, tapi satu-persatu
dimasukkan dari daerahnya.
Tahun 1968, Daud Beureu’eh yang sempat
menjabat sebagai gubernur militer Aceh sekaligus seorang ulama dan
pejuang kemerdekaan Indonesia sempat mendatangi kecamatan Lipat Kajang
dan desa Rimo, dalam pidatonya mengatakan “supaya gereja dan ditutup dan
kegiatan agama Kristen dihentikan. Alasannya karena Aceh adalah daerah
istimewa yang penduduknya mayoritas Islam. Daud Beure’eh sepertinya
tidak mau jika suatu saat nanti para pemeluk Kristen dari berbagai
daerah didatangkan dari luar. Ini bisa menghancurkan syari’at Islam di
Aceh.
Tidak berhenti sampai disitu saja, tahun
1979 Singkil kembali didatangi oleh seorang Penginjil dari Gereja Tuhan
Indonesia (GTI) Sumatera Utara untuk mendirikan gerejanya di Gunung
Meriah. Kejadian ini, sempat menimbulkan kemarahan dari umat Islam dan
memicu insiden dengan umat Kristiani.
Ikrar Bersama Menjaga Kerukunan Umat Beragama
Tanggal 11 Juli 1979 di Lipat Kajang,
melalui sepucuk surat perjanjian yang ditandatangani secara bersama-sama
oleh 8 Ulama perwakilan ummat Islam dan 8 pengurus gereja perwakilan
umat Kristiani sepakat untuk tidak melaksanakan pendirian/rehab gereja
sebelum mendapat izin dari pemerintah daerah tingkat II, hingga kemudian
pada tanggal 13 Oktober 1979 dibuatlah ikrar bersama untuk menjaga
kerukunan umat beragama dan mentaati perjanjian yang telah dibuat
pertama kali (11/07/1979) tersebut. Ikrar bersama ini ditandatangani
oleh 11 pemuka agama Kristen dan 11 pemuka agama Islam disaksikan serta
ditandatangani oleh muspida Kab. Aceh Selatan (saat itu belum dimekarkan
menjadi kabupaten Aceh Singkil –red), Kabupaten Dairi-Sumut dan juga
disaksikan oleh unsur muspika Simpang Kanan.
Mereka Ingkar Janji
Walau perjanjian demi perjanjian terus
dilakukan, namun pihak Kristiani tidak pernah mau memegang janjinya,
hingga pada oktober 2011 kembali dibuat surat perjanjian terkait
pembakaran salah satu gereja di kecamatan Suro yang sempat terjadi
sebelumnya. Dengan difasilitasi oleh Muspika dan Muspida, maka dibuatlah
dialog melalui hasil perjanjian, diantaranya, gereja di Aceh Singkil
hanya boleh 1 unit, yaitu gereja Kuta Kerangan dengan ukuran 12×24 meter
dan tidak bertingkat, undung-undung hanya boleh 4 unit, yaitu 1 unit di
Gampong Keras, 1 unit di Gampong Napagaluh, 1 unit di Gampong Suka
Makmur dan 1 lagi di Gampong Lae Gecih. Apabila terdapat gereja atau
undung-undung selain yang tersebut diatas, harus dibongkar.
Kenyataannya, gereja dan undung-undung
yang masuk daftar perjanjian itu tidak dibongkar, jangankan dibongkar
malah diperbanyak (dibangun lagi yang baru) dan direhab. Dari data yang
diperoleh SantriDayah, saat ini sudah hadir lebih dari 20
gereja di Singkil. Pembangunan gereja ini dilakukan secara sadar dan
melanggar hukum dengan tidak melengkapi syarat, terang-terangan melawan
pemerintah dan melanggar aturan yang berlaku, serta melecehkan ummat
Islam dengan melanggar perjanjian yang telah dibuat bersama. Malah tidak
mentaati peraturan yang sudah tertuang dalam Pergub nomor 25 tahun
2007, SKB 2 Menteri nomor 9/8 tahun 2006, qanun Aceh Singkil nomor 7
tahun 2002, perjanjian lama 1979 serta perjanjian yang dibuat pada tahun
2001 dengan penuh perdamaian oleh tokoh-tokoh agama di Singkil.
Pengurus gereja Petabas dicurigai telah melakukan aksi-aksi yang
memancing kemarahan Muslim, satu-persatu jemaat gereja didatangkan dari
luar (bukan penduduk asli –red). Artinya, keberadaan gereja tidak
memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, melainkan lebih kepada
provokasi. Padahal pemerintah dan tokoh agama telah bersusah payah
menjaga kerukunan umat beragama di Aceh Singkil.
Kronologis Awal Penyegelan Gereja Aceh Singkil
Pada hari selasa tanggal 20 september
2011 beberapa ormas Islam di Singkil mendatangi pemerintah Kabupaten
Aceh Singkil melalui Asisten 1 Drs. Azmi guna merekomendasikan agar
gereja dan undung-undung (sejenis gereja kecil –red) yang sekarang
semakin banyak berdiri dengan status illegal serta yang tidak memiliki
IMB (izin mendirikan bangunan) supaya ditertibkan, guna mengantisipasi
kejadian tahun 33 tahun silam (1979). Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil
melalui asisten 1 Drs. Azmi merespon apa yang telah disampaikan dan
direkomendaskan sehingga pada hari selasa, 27 september 2011 diadakan
rapat Muspida Plus, Ormas, tokoh masyarakat, agama dan LSM yang ada di
Kabupaten Aceh Singkil. Melalui hasil rapat tersebut dibuat satu
kesimpulan.
Kesimpulan tersebut antara lain,
pemerintah Kabupaten Aceh Singkil akan meng-inventarisir jumlah
sesungguhnya gereja dan undung-undung, bagi gereja/undung-undung yang
dibangun dan tidak sesuai SKB 2 Menteri nomor 9/8 tahun 2006 dan Pergub
Aceh nomor 25 tahun 2007 serta qanun Aceh Singkil nomor 7 tahun 2002
merupakan suatu perbuatan melanggar hukum. Pemerintah akan melakukan
tindakan penertiban terhadap keberadaan bangunan gereja dan
undung-undung yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang merupakan ketua front pembela Islam (FPI) Aceh Singkil kepada SantriDayah menjelaskan
bahwa hasil rapat tersebut tidak menghasilkan tindakan apapun dari
Pemda Aceh Singkil dilapangan sehingga berjalan lima bulan kemudian dari
hasil rapat Muspida Plus serta para ormas, tokoh agama, masyarakat, LSM
tepat pada hari rabu (29/03/12) panitia pembangunan gereja di Gampong
Pertabas Simpang Kanan masih tetap melanjutkan pembangunan gereja. Ormas
yang sudah siap dan muspida langsung melakukan investigasi kelapangan.
Apa yang terlihat, para pekerja pembangunan gereja Pertabas tidak
sedikitpun menghiraukan kedatangan Muspida Aceh Singkil, pada hari
tersebut pembangunan gereja masih saja terus dilanjutkan, terjadilah
dialog yang dimulai dari Waka Polres Aceh Singkil dilanjutkan dengan
pembacaan hasil kesepakatan oleh Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI dan
terjadilah debat panjang tanpa membuahkan hasil. “Kami menilai
kedatangan pemda Aceh Singkil kelapangan sekedar melepas kebosanannya di
ruang kerja dan refreshing”, ujar Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang
biasanya akrab disapa Ustad Hambali kepada SantriDayah minggu lalu.
Aksi Damai Tanpa Anarkis
Waktu terus berjalan, hingga pada 30
April 2012 atas nama Forum Umat Islam Aceh Singkil mendatangi kantor
Bupati mengadakan aksi damai tanpa anarkis guna menyampaikan kepada
Pemda setempat tentang banyaknya bangunan gereja liar tanpa adanya IMB
dengan jumlah 27 unit dan tersebar di 7 kecamatan dalam Kabupaten Aceh
Singkil, setelah kurang lebih satu jam melakukan orasi maka peserta aksi
damai diminta untuk berkumpul di offrom kantor bupati mengadakan dialog
agar bisa mewakili peserta aksi damai. Dari hasil pertemuan itu
kapolres yang langsung memimpin rapat menegaskan supaya persoalan ini
segera diselesaikan dan intisari rapat menghasilkan sebuah kesepakatan
bahwa seluruh gereja yang tidak memiliki izin diminta untuk dibongkar
oleh umat Kristen itu sendiri.
Gayung Bersambut
Pada tanggal 1 Mei 2012 tim penertiban
yang dibentuk oleh Pemda Aceh Singkil turun kelokasi untuk menyegel lima
unit gereja, hari kedua tim penertiban tidak turun karena ada acara
HARDIKNAS, hanya saja pada hari tersebut beberapa pendeta datang ke
kantor bupati dan diadakan pertemuan dengan unsur muspida/plus, Kapolres
dan Kasdim Aceh Singkil serta MPU. Dalam pertemuan tersebut
disampaikanlah tanggapan dari pendeta-pendeta antara lain mengenai
perjanjian 1979 dan 2001 yang diakui, akan tetapi pendeta tersebut
meminta dari umat Islam untuk toleransi lagi tentang penambahan
pembangunan gereja di Singkil, padahal pada tahun 2001 sudah diberikan
toleransi 4 buah Undung-undung.
Disamping itu, pendeta yang ikut hadir
dalam pertemuan itu menilai bahwa perjanjian tahun 2001 bersifat dibawah
tekanan, tidak murni hasil musyawarah, GKPPD (Gereja Protestan Pakpak
Dairi) adalah gereja yang berbasis budaya dan tersebar di Sumatera, Aceh
bahkan Jawa, dalam artian telah menyebar ke seluruh Indonesia, kalau
diadakan pemaksaan dan dan peruntuhan ini bisa berakibat lain, bukan
menyelesaikan masalah melainkan menambah masalah.
Jika jemaat Kristen bertahan, dan aparat
datang merobohkan gereja, ini bukanlah seperti di Ambon, tolong
dipikirkan baik-baik kalau memang ini harga mati, ujar salah-satu tokoh
masyarakat Aceh Singkil menanggapi alasan pendeta yang menilai miring
perjanjian tahun 2001 tersebut. Pada tanggal 03 Mei 2012 tim penertiban
kembali bergerak, hingga kemudian berhasil menyegel 13 gereja.
Selanjutnya 08 Mei 2012 juga turun ke lapangan dan berhasil menyegel 2
gereja. Proses ini sudah berjalan 2 bulan 10 hari, belum ada hasil yang
didapat tentang bangunan gereja liar, segel yang dipasang oleh tim
penertiban bentukan Bupati Aceh Singkil sebagian besar bahkan dicabut
dan gereja/undung-undung kembali ditempati seperti semula.
Masalahnya semakin kompleks, hingga
ummat Islam di bumi Abdurrauf Assingkili tidak bisa berbuat apa-apa.
Berbagai upaya telah dicoba guna menjaga aqidah Islam secara utuh,
bahkan beberapa informasi yang berhasil diperoleh SantriDayah saat
itu menyebutkan bahwa ada beberapa Muallaf yang sudah merasakan
kedamaian dengan memilih Islam sebagai jalan hidup murtad kembali,
karena tidak adanya perlindungan dan pengajaran yang memadai. Pemerintah
Aceh Singkil seharusnya berpikir panjang, mendirikan berbagai benteng
pertahanan terhadap aqidah Islam rakyatnya, bukan malah membuka jalan
bagi Kristen untuk memurtadkan satu-persatu Muslim didaerahnya. [mia]
Meluasnya Wahana Perpecahan
Bak bara dalam sekam, dimana Umat Islam
diseluruh Aceh menganggap Aceh Singkil aman-aman saja, padahal kejadian
demi kejadian terus terjadi.
Beredarnya Buku dan Selebaran Gelap
Pertengahan juni 2012 Bumi Syekh
Abdurrauf digemparkan oleh tersebarnya buku-buku yang menghina umat
Islam, buku-buku yang berjumlah ribuan eksemplar itu diletakkan oleh
pihak yang tidak bertanggungjawab ke rumah ibadah kaum Muslim seperti
masjid-masjid, mushalla-mushalla dan di jalan-jalan, buku itu memuat
pelecehan terhadap tatacara Islam melakukan ibadah, termasuk menghina
ajaran Rasulullah SAW dan mengatakan bahwa beliau bukanlah seorang Rasul
Allah. Tidak hanya buku, selebaran-selebaran yang menebarkan kebencian
dan memancing konflik horizontal antar umat beragama pun ditemukan.
Diduga dalang dibalik kejadian ini dibuat oleh Gereja Kristen Protestan
Pakpak Dairi, Sidikalang.
Informasi yang diperoleh SantriDayah dari
ketua FPI Aceh Singkil Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI menguatkan dugaan
bahwa benar dibalik kejadian ini GKPPD lah yang harus bertanggungjawab.
Sehubungan dengan surat pengaduan dengan nomor 99/PD/DPW-FPI/SY/1433
yang pernah dilayangkan kepada Kapolres Aceh Singkil tentang adanya
selebaran dari GKPPD Sidikalang dan buku tanpa penerbit yang memuat
penodaan terhadap agama Islam. Umat Islam di Singkil ditakutkan akan
mengalami nasib yang sama dengan yang pernah terjadi di Bengkulu, dimana
setiap bulan haji, mereka selalu mendapatkan buku panduan manasik haji
palsu yang dibuat oleh kaum Kristiani dan disebarkan ke kaum muslimin.
Kristen Dilindung, Islam Dibendung
Selang satu hari setelah surat itu
dikirimkan, Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang merupakan ketua FPI Aceh
Singkil dipanggil oleh Kapolres Aceh Singkil melalui Kasat Reskrim AKP.
Ibrahim, SH untuk dimintai keterangan klarifikasi selebaran copyan
pemberitahuan yang di duga dari gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi.
Pada tanggal 16 Juli 2012 di rumah makan Embun Pagi, Gampong Lae Butar
Gunung Meriah Kapolda Aceh mengadakan pertemuan dengan masyarakat Aceh
Singkil, lebih kurang dari pertemuan itu didominasi oleh umat Kristiani
Aceh Singkil. Ketika dari pengurus FPI datang ketempat itu, satu hal
yang aneh terjadi, pihak Islam diawasi dengan ketat, sampai ditanya
siapa yang mengundang mereka. Mukaribin Pohan (wakil ketua bagian jihad
FPI) juga sempat mendapat teguran dari Polsek Gunung Meriah, dengan
pernyataan yang lebih kurang “kamu jangan macam-macam, nanti kutangkap
dan kumasukkan ke penjara, kamu tidak ada undangan”. Ketika tanya jawab
dimulai, beberapa peserta dari ummat Kristiani tampil memaparkan
pembicaraan, namun disaat tokoh agama Islam, wakil ketua DPRK dan MAA
Aceh Singkil mengajukan pertanyaan kepada Kapolda, kesempatan itu tak
pernah diberikan.
Lima Rekomendasi “GILA” Komnas HAM
Diskriminatif, tidak adil, terlalu
mensekulerkan, begitulah sekelumit kata yang timbul ketika melihat peran
Komnas HAM di Indonesia dalam merancang undang-undang kebebasan
beragama, misinya hanya satu, ya menghancurkan Islam dengan cara mereka,
rekomendasi yang meresahkan muslim itu dikeluarkan di Jakarta tanggal
07 Maret 2012.
Rekomendasi yang menyoal UU no.1 PNPS
tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama. Menurut
Komnas Ham, setiap orang bebas sepenuhnya memilih atau tidak memilih
agama dan siapapun tidak memiliki kewenangan untuk melarang warga negara
meyakini satu agama atau kepercayaan, sekalipun agama dan kepercayaan
itu dianggap sesat menyesatkan oleh sekelompok agama tertentu.
Rekomendasi aneh ini akan merugikan Islam, dimana para pengacak dan
perusak agama bisa tumbuh berkembang kapan saja. Sebagai contoh,
suburnya akidah-akidah sesat seperti Ahmadiyah, Lia eden, Ahmad Musaddik
dan kelompok-kelompok sesat lainnya.
Tidak sah nya pernikahan beda agama
seperti yang diatur dalam UU no.1 tahun 1974 harus dihapus. Dalam poin
ini, Komnas Ham menunjukkan pada perbedaan agama, lesbian, homoseksual
dan lainnya yang dianggap sebagai bagian dari HAM dan harus juga di
akomodasi dengan mengubah syarat-syarat perkawinan dalam peraturan
perundang-undangan sebagai bentuk dari harmonisasi RUU tentang kebebasan
beragama. Dengan usulan seperti itu, menunjukkan bahwa Komnas Ham telah
memporak-porandakan sendi-sendi dasar ideologi kesakralan manusia
beragama ketika berbicara mengenai agama dan ketuhanan.
Selanjutnya rekomendasi itu juga
mempersoalkan peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri
no.8/9 tahun 2006 (SKB 2 Menteri) Menurut Komnas Ham SKB 2 Menteri itu
menghambat kebebasan mendirikan rumah ibadah khususnya gereja.
Rekomendasi ini menurut logika sangat sulit diterima, diatur
pendiriannya saja masih menimbulkan konflik, apalagi membiarkannya.
Sebagai contoh, di Australia, Eropa dan Amerika yang juga memuat untuk
pendirian rumah ibadah, umat Islam tidak leluasa mendirikan masjid dan
mushalla, bahkan kalau pun bisa mendirikan, tapi adzan tetap
diperhitungkan, tidak boleh menggunakan pengeras suara.
Rekomendasi Komnas Ham tersebut juga
menginginkan UU No 20 tahun 2003 tentang pendidikan yang mengharuskan
murid (peserta didik –red) mendapatkan pelajaran agama dari guru agama
yang beragama sama dengannya harus dihapus. Keinginan Komnas Ham ini
bermaksud untuk memberikan kurikulum baru, dimana setiap murid harus
mengikuti pelajaran dari agama manapun, walaupun murid itu tidak
menganut agama yang sama dengan pelajaran agama yang diajarkan oleh
gurunya. Sebagai contoh kecil, murid yang beragama Islam diajarkan mata
pelajaran agama Kristen. Dan yang terakhir, Rekomendasi Komnas Ham itu
ingin menghapus agama dalam atribut kependudukan termasuk dalam KTP dan
KK. Mereka menolak aturan yang telah diatur dalam UU no.23 tahun 2006.
TV Nasional Bermain Mata Dengan Pihak Asing
Luar biasa, propaganda demi propaganda
senantiasa dilakukan, tak jarang stasiun TV Nasional pun ikut berupaya
membangunkan pihak asing yang sedang tidur melalui programnya. Data-data
yang didapat tim SantriDayah dari ketua FPI Singkil menyatakan
bahwa pada kamis malam, tanggal 19 Juli 2012 WIB pihak Metro TV
menayangkan sebuah program yang mengangkat tema “Menanti Solusi Damai
untuk Minoritas”. Isinya menyangkut penyegelan sejumlah gereja dan
kebebasan beragama di Aceh Singkil. Saat peliputan materi tersebut,
reporter Metro TV bernama Monique yang datang dari Jakarta memilih
pendeta sebagai pendamping dan penunjuk jalan. Padahal di Aceh Singkil
terdapat rekan wartawan Metro TV yang tentunya lebih paham mengenai
sumber materi berita. Sikap reporter Jakarta tersebut dinilai melanggar
kode etik jurnalis, karena tidak menunjukkan netralitas dalam peliputan
berita. Keberadaan pendeta Erde Berutu sebagai penunjuk jalan tim Metro
TV dari Jakarta hamper memicu keributan saat Mounique hendak melakukan
wawancara dengan Ketua FPI lantaran si reporter Metro Tv itu dinilai
tidak netral oleh warga Muslim yang berada dilokasi tersebut.
Penayangan gambar pintu gereja Misili
Injili Indonesia (GMII) Desa Mandumpang Kecamatan Suro, gereja katolik
gampong Napa Galuh Danau Paris Kabupaten Aceh Singkil yang digembok
dinilai tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Sebab tidak ada satu
gereja pun yang disegel dengan gembok oleh pemerintah Kabupaten Aceh
Singkil. Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil hanya memasang papan segel
yang memuat larangan membangun rumah ibadah tanpa izin sesuai peraturan
SKB 2 Meteri No.8 dan 9 tahun 2006, Pergub Aceh No.25 tahun 2007 dan
qanun Aceh Singkil no.7 tahun 2007. Pemerintah Aceh Singkil tidak pernah
melakukan penutupan rumah ibadah gereja.
Cerita lain yang dibangun dalam tayangan program “Inside!” tersebut
seolah-olah menggambarkan bahwa gereja-gereja yang disegel tidak dapat
digunakan untuk beribadah, padahal faktanya hingga hari ini umat Kristen
di Aceh Singkil masih tetap bisa menjalankan aktifitas beribadah di
gereja-gereja yang di segel oleh pemerintah tanpa ada gangguan
sedikitpun.
Narasumber yang ditayangkan dalam program Inside diwakili
oleh pernyataan PJ. Bupati Aceh Singkil dan ditutup oleh pernyataan
Ketua DPRK Aceh Singkil. Namun cerita/gambar tayangan dalam program itu
memuat kemarahan warga di Peunayong Banda Aceh dan aksi pembakaran
gereja di Sibubuhan (Sumatera Utara) kejadian tahun 2010. Hal ini
dinilai tidak tepat, sebab Narasumber yang dimuat adalah mewakili
pejabat dan wakil rakyat di Aceh Singkil, penayangan pembakaran gereja
di Sibubuhan tersebut dinilai sebagai upaya pembenaran terhadap opini
yang selama ini berkembang di tingkat Nasional dan Internasional bahwa
di Singkil telah terjadi perusakan dan pembakaran 20 gereja. Padahal hal
tersebut sama sekali tidak benar.
Selanjutnya, sebahagian gambar rekaman video yang ditayangkan dalam program Inside tidak
jelas sumbernya, diantaranya pada durasi 05 menit (pukul 23.09 wib)
penayangan program tersebut menunjukkan bahwa sebagian rekaman video
yang ditayangkan dalam program itu bukanlah hasil liputan wartawan Metro
TV, sayangnya tayangan itu tidak memuat sumber video berasal, hal ini
jelas melanggar kode etik jurnalistik. Narasumber yang ditampilkan tidak
berimbang antara umat Kristen dan umat Islam sehingga informasinya pun
tidak seimbang. Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI menambahkan, Metro TV
pernah meminta keterangan dari pengurus Forum Umat Islam Aceh Singkil,
namun tidak dimuat dalam pemberitaan. Ketika dikonfirmasi kepada Metro
TV, kenapa keterangan FUI tidak dimuat, Monique menjawab dengan alas an
tidak cukup waktu, selanjutnya sengaja diminta keterangan dari tokoh
agama yang tidak tahu menahu tentang persoalan ini.
Kabupaten Aceh Singkil terdiri dari
sebelas kecamatan, tinggal empat kecamatan lagi yang belum ada gereja.
Rekapitulasi jumlah penduduk dari dinas kependudukan dan pencatatan
sipil berdasarkan agama di kabupaten Aceh Singkil diketahui umat Islam
112.896 jiwa. Sedangkan Kristen 13.653 jiwa. Katolik 922 jiwa. Hindu 13
jiwa. Budha 15 jiwa dan lainnya 335 jiwa.
Menjamurnya Kristenisasi di Aceh
Penganut Kristen harus dan perlu dibedakan dalam tiga golongan: Pertama,
penganut Kristen yang buta (tidak tahu dan tidak faham agama Kristen,
tidak pernah membaca dan mempelajari Bibel, tidak pernah ke Gereja dan
kalau ditanya tentang agama Kristen, mereka tak dapat menjawab secara
argumenentatif. Kedua, penganut Kristen yang menjadi qissiis
dan rahib (mendalami ajaran Kitab Suci Injil dan mengamalkannya –red),
seperti yang diungkapkan al-Qur’an surah al-Maa-idah ayat 82-83, yang
kalau terdengar oleh mereka penyampaian wahyu kepada Rasul Allah, mereka
menangis dan menyatakan beriman kepada Allah. Dan yang Ketiga,
penganut Kristen seperti yang diungkapkan Allah di dalam al-Qur’an
(Al-Baqarah: 120) bahwa Yahudi dan Nasrani tidak senang kepada Islam
sehingga umat Islam mengikut agama mereka.
Yang berbahaya bagi umat Islam ialah
penganut Kristen golongan terakhir ini. Golongan ketiga inilah yang
secara gigih berupaya memurtadkan (mengkristenkan) umat Islam, yang
dalam perkembangan selanjutnya dikatakan kristenisasi. Upaya ini telah
berlangsung sejak lama, termasuk di Indonesia. Hanya di Indonesia,
ketika Orde Baru jaya, banyak pejabat negeri ini tidak percaya bahwa
kristenisasi besar-besaran telah dan sedang terjadi di Indonesia. Tetapi
setelah dikeluarkan buku Fakta dan Data tentang kristenisasi di
Indonesia oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, banyak yang terperangah
dan yakin bahwa pihak misionaris zending (misi penyebaran agama Kristen
–red) telah bekerja keras siang-malam untuk mengkristenkan umat Islam
secara khusus. Ironisnya, pada Orde Reformasi di Indonesia, upaya
kristenisasi itu semakin berani dan terbuka bahkan keji. Mereka
menggunakan Al-Qur`an dan Hadits dengan pengertiannya yang sengaja
diputarbalikkan untuk membenarkan ajaran sesat mereka, dan sekaligus
untuk mengelabui umat Islam, agar sudi masuk Kristen. Berbagai trik
halus mereka lakukan, di antaranya bergerilya dengan kedok “dakwah
ukhuwwah” dan “shirathal mustaqim” secara gencar dan tersembunyi.
Gerakan ini dikoordinasi oleh Yayasan NEHEMIA yang dipelopori Dr Suadi
Ben Abraham, Kholil Dinata dan Drs. Poernama Winangun alias H. Amos.
Bermula dari semenjak musibah tsunami
yang menerpa Aceh pada akhir 2004, serangan mulai datang dari berbagai
Negara Barat, serangan yang dimaksud adalah Kristenisasi, ini diawali
dengan banyaknya bantuan dari donatur luar yang dengan sengaja ingin
menyampaikan misi lain. Pihak missionaris sudah sejak lama ingin
menginjakkan kakinya di Aceh. Tahun 1984 sempat datang pendeta dari
Jerman akan mendirikan pusat pengembangan Kristen, namun ditolak. Pada
1994 utusan dari kepausan datang ke Aceh. Mereka merayu 24 anak untuk
masuk Kristen. Tapi dua bulan di Aceh, dia tidak sanggup melaksanakan
tugasnya.
Misi Barat
Berita yang dikutip SantriDayah dari
harian The Washington Post yang pernah terbit pada 13 Januari 2005
memuat berita yang menggelikan. Evangelis terkenal Jerry Falwell yang
berteman dekat dengan Presiden W Bush mengatakan, “Rakyat di kawasan itu
(Aceh) belum pernah mendengar nama Jesus disebut, jadi tak ada salahnya
misionaris menyebarkan ajaran Bible sambil membawa bantuan
kemanusiaan”. Kemudian pada berita yang lain terdapat
kalimat, “Anak-anak ini tidak punya rumah,miskin, trauma, yatim
piatu, tiada tempat untuk tinggal, tempat tidur dan tidak makan. Jika
kita bisamenempatkan mereka di rumah anak-anak Kristen, iman mereka di
dalam Kristus bisa menjadi pijakanuntuk menjangkau rakyat Aceh.”
Lebih dari 70 LSM dari Vatikan sempat
didaratkan oleh dubesnya sendiri masuk ke pedalaman garis pantai Aceh
Barat siap mendirikan sekolah-sekolah. Truk-truk logistik World Vision
beroda 12 merajai jalan-jalan Banda Aceh kala itu. [Mawardi Ismail/Tim SantriDayah]
————————-
(Berita ini telah masuk ke redaksi
majalah bulanan SantriDayah, tapi urung diterbitkan. Saya memutuskan
untuk menampilkannya di blog, mudah-mudahan persoalan Kristenisasi Aceh
Singkil tidak luput dari perhatian pihak manapun. Wassalam).
Post By Mawardi Ismail Al-Asyi/ aneukmulieng – 21 Apr 2014
(nahimunkar.com)
Advertisement
0 Response to "Tragedi Aceh Singkil "
Post a Comment