Antara Bedak dan Sirih Ada Payung

Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih, orang duduk dan luar ruanganCatatan singkat perjalanan ke Myanmar, terkadang orang menyebutnya Birma dan terkadang Burma. 
Tengah hari itu, aku tiba di Yangon, hujan gerimis menyambutku, begitu juga sepanjang perjalanan dari Yangon ke Mandalai hujan gerimis terkadang berhenti, tiba tiba di panas terik gerimis lagi. Dari Mandalay naik pesawat terbang ke Myitkyina, turun saja di airport hujan gerimispun tengah memercik, didekat apron orang semua berdiri membawa payung. 

"Nopember, Desember, Januari dan Februari, itu biasanya udara disini sejuk". Ujar Salim teman yang kukenal di masjid central Myitkyina. Salim kulitnya tidak terlalu gelap perbaduan antara orang India dan China. Matanya tidak sipit, hidungnya mancung, postur tubuhnya tinggi tegap.
Salim pemuda 30 an itu belum menikah. "Belum ada duit" katanya sambil tersenyum, giginya terlihat, berwarna merah kehitam hitaman dipangkalnya. Tak henti henti ia mengunyah siri.

Boleh dikatakan hampir semua orang Myanmar menguyah sirih. seperti Salim. Tak kiralah perempuan maupun lelaki.

Buah pinang, buttle nut lumayan laris disana, terkadang dipasok dari Indonesia lho. Aku pernah bertemu dengan pengepul buah pinang ini, di Batam. Lumayan harganya. Masuk ke Myanmar, kata kawan itu, melalui kota Maesot Thailand, kota ini berbatasan dengan Maywadi di Burma. Bagaimana bisa kesana, panjang juga perjalanan buah pinang ini. Setelah dibawa dari Batam masuk ke Malaysia, dari Malaysia pula melalui darat keperbatasan Malaysia dengan Thailand terkadang dari Bukit Kayu Hitam Kedah Malaysia dan Danok Thailand. ada juga yang dikapalkan dari Aceh.

Dari Myanmar buah pinang dari Indonesia ini terkadang dibawa masuk ke India juga, begitulah katanya. Banyak buah pinang di Indonesia, bukan untuk nyirih saja buah ini pun di pakai untuk tekstil.

Sirih dan Air Ludah

Tidak ada teks alternatif otomatis yang tersedia. Siang tadi aku makan di warung "Masha Allah" namanya, warung kecil di 30th street persis di depan Bogyake Aung San Market, pasar terkenal di Yangon, kududuk dimeja dekat pintu masuk, sambil menunggu nasi pesananku, mataku menyapu ruangan. Beberapa orang dalam warung iru sedang makan, seorang tamu datang memesan makanan  Warung menjual makanan halal ini tak jauh dari hotel tempatku menginap. Lelaki memesan makanan itu sambil berkata sambil mengunyah sirih. Setelah itu dia mengambil air dalam ember dengan gayung yang sudah disediakan dia memsaukkan air kedalam mulutnya. Rupanya sebelum makan mereka kumur kumur dulu membuang ampas sirih yang ada dimulut. Geli geli gimana gitu lihatnya karena persis di depan kita.

Jalanan trotoar terlihat merah hitam bekas ludah semburan sirih, dimerata tempat. Supir taksi yang kita tumpangi pun meludahkan air sirih bekas kunyahannya hanya membukakan pintu kenderaannya.

Aku teringat saat Salim menawariku makan sirih di Myitkyina.
"Mau coba pakcik" kata Salim padaku. Dia berhenti sebentar membeli sebungkus daun sirih yang sudah dicampur kapur, gambir dan pinang, entah apa lagi campurannya.
Aku tersenyum kukatakan padanya pernah coba makan sirih kepalaku puyeng.

Bedak  dan Payung

Gambar mungkin berisi: 1 orang, berdiri, sepatu dan luar ruangan Orang Myanmar, hampir pula seluruhnya suka memakai bedak, enggak laki ya enggak perempuan. Entah dari bahan apa itu diletakkan diatas seperti batu dan digerus pakai batang kayu direnjus air dan dikuaskan ke pipi.

Sampai di Yangon kami disambut hujan gerimis, di Myitkyina pun hujan gerimis, sedang jalan dari hotel ke masjid hanya beberapa menit ditengah panas cuaca hampir 34 derajat celsius tiba tiba gerimis, bajuku sudahlah basah oleh keringat, ditambah air hujan gerimis pula.

Aku takut Pasport ku basah, tadi kuletakkan dalam saku baju, kuambil karena baju lembab. Aku meneduh di depan masjid yang belum dibuka. Rencana hendak sholat jamak takdim Zuhur dan ashar. Masjid belum dibuka lagi.Panteslah kemana-mana orang membawa payung.

Hujan gerimis mereda, semua orang yang lalu lalang didepanku nembawa payung. Mereka terus membawa payung. Karena curah hujan tidak diharapkan. Demikian laporan kondisi cuaca di daerah ini. Hari itu aku sengaja pakai baju batik, seorang bapak menghampiriku, langsung saja dia bahasa melayu.
"Indonesia bagus baju." sambil tersenyum dia menyalamiku.
"Apa kerja disini, katanya lagi. Dia terus cerita tentang orang orang Indonsia yang kerja di pelabuhan Yangon, jadi anak kapal.

Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih dan luar ruangan "Kenapa masjid belum buka."  tanyaku. Nanti kalau cepat buka, katanya banyak orang mari sini tidur mabuk ambil duit, jadi pas waktu sholat sekitar sepuluh menit sebelum sholat baru dibuka.
Bapak tadi yang menyapaku pernah kerja di Malaysia,  waktu mudanya dulu, sekarang katanya sudah tua sudah 63 tahun. Kutanya, "Sekarang kerja apa disini".
Dijawabnya "Mandor". Sambil dia minum susu digelas plastik yang dituangkan seorang pedangang perempuan paroh baya, penjual  minuman seperti itu, banyak mangkal didepan masjid dan di kaki lima di depan pertokoan..
"Mandor apa."  tanyaku lagi. Dijawabnya sambil tersenyum. "Makan Tidor."
Petugas masjid, membuka pintu, aku masuk, wuduk dan sholat zuhur karena tadi baru sampai dari Myitkyina, belum zuhur lagi.


Advertisement

0 Response to "Antara Bedak dan Sirih Ada Payung"

Post a Comment